
LUBUKLINGGAU- Kebijakan Pemkot Lubuklinggau melarang angkutan desa (Angdes) masuk pasar dinilai anggota dewan sebagai keputusan yang lemah kajian. Penilaian ini disampaikan, Andri Tanzil, Rabu (10/3), menanggapi keluhan para pedagang pasar Inpres akibat kebijakan tersebut.
Menurut politisi dari Partai Damai Sejahtera (PDS) itu, munculnya keluhan para pedagang pasar Inpres Lubuklinggau, yang mengaku sepi pasca pelarangan mobil Angdes masuk lingkungan pasar. Dan berimplikasi langsung dengan kemerosotan omzet penjualan para pedagang, sangatlah bisa dipahami. “Sebagai salah seorang wakil rakyat, dan cukup memahami seluk-beluk pasar tradisional. Saya sangat memaklumi kondisi para pedagang tersebut. Apa yang dialami pedagang tentu saja tidak terlepas dari sebab akibat pemberlakuan kebijakan penertiban angdes oleh Pemkot Lubuklinggau,” ungkap Andri, mengawali tanggapannya.
Bila mau objektif lagi, lanjutnya, sudah hampir satu dasawarsa usia Kota Lubuklinggau, tetapi belum memiliki peraturan daerah (perda) tata ruang yang jelas. Akibatnya seringkali kebijakan pembangunan yang ditempuh pemkot terkesan tidak menjawab kebutuhan masyarakat dan mubazir.
“Sebut saja kita bercerita tentang pasar dan terminal. Secara histori, kedua objek tersebut sudah tersedia cukup lama. Lantas, serta merta pemkot akan melakukan penertiban atau perubahan. Niatnya sudah benar, tetapi pada tataran pelaksanaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus melalui tahapan kajian melibatkan semua elemen terkait,” papar pria yang biasa disapa Kehok.
Dikatakannya keberadaan pasar dan terminal lama sudah bagian dari tradisi aktivitas komunitas pasar itu sendiri. Sehingga jika pemkot melakukan perubahan dengan cara membangun pasar dan terminal baru atas nama penertiban dan keindahan kota, sudah pasti merubah tradisi. “Nah yang namanya perubahan haruslah disertai dengan kajian mendalam dan komprehensif. Kenapa demikian? Karena salah satu komponen yang akan dirubah itu manusia, bukan besi atau benda mati,” tegasnya.
Apalagi lanjut Andri, rencana strategi (renstra) arah kebijakan pembangunan Kota Lubuklinggau menjadi kota jasa perdagangan. Sebagian besar PAD kota ini juga disumbangkan dari sektor jasa perdagangan dan keuangan. Idealnya pilihan kebijakan pembangunan yang ditempuh pemkot harus dalam misi untuk mensejahterakan rakyat. “Tidak bisa meneruskan kebijakan atau peraturan yang mengabaikan kepentingan rakyat. Apalagi hanya sekedar untuk tujuan meraih piala Adipura,” sindir Andri.
Bagi warga Kota Lubuklinggau, tambah Andri Tanzil, piala Adipura bukan sesuatu yang baru. Karena saat masih berstatus sebagai ibukota Kabupaten Musi Rawas, penghargaan tersebut sudah berulang kali diraih. Hanya saja kemudian terlepas karena tidak bisa mempertahankannya. Artinya memelihara dan mempertahankan penghargaan Adipura jauh lebih sulit daripada merebutnya kembali.
“Saya bukan tipe orang yang tidak menghargai piala Adipura. Silakan ikut perlombaan atau berkompetisi dengan kota-kota lain untuk meraih penghargaan tersebut. Tetapi jangan mengorbankan kesejahteraan rakyat. Apa artinya piala kalau rakyat dirundung kemiskinan, hidup dalam tekanan dan tidak aman. Arus lalulintas dimana-mana macet dan berlawanan arah. Perlu dipikirkan para pedagang di pasar menggunakan dana bank, kalau pasar sepi dan omzetnya merosot drastis maka besar kemungkinan terjadi kredit macet. Artinya sudah berimplikasi pula pada sektor perbankan,” pungkasnya.(12)


0 komentar:
Posting Komentar