Sementara untuk tahun ini, produksi kelapa sawit ditargetkan akan mencapai sekitar 22 juta ton. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan produksi tahun 2009 hanya 19,4 juta ton, yang terserap untuk pasar ekspor sebanyak 15 juta ton dan pasar domestik hanya 4,4 juta ton.
Menurutnya, industri kelapa sawit harus dijaga dengan baik, dan jangan sampai punah.
“Jangan sampai momentum kelapa sawit Indonesia hilang karena hanya hujatan dan fitnah.
Jangan sampai hilang seperti rempah-rempah dan rotan kita yang dulu hebat dan sekarang sudah tidak bangkit lagi. Jadi tolong ini dijaga,” ucapnya.
Menurut Fadhil, hal tersebut kemungkinan besar dipicu oleh kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh pengusaha kelapa sawit Indonesia dengan beberapa pihak, termasuk LSM mengenai aspek positif kelapa sawit Indonesia.
Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Sungai dan Danau Kementerian Negara Lingkungan Hidup Antung Deddy mengatakan, citra dari pengelolaan kelapa sawit Indonesia selalu buruk, misalnya, kata dia, disebut menyebabkan kebakaran hutan dan menjadi emitor gas rumah kaca. “Ada kebijakan di Indonesia tida memperbolehkan pembakaran hutan kecuali tidak lebih dari dua hektar (ha) dan ditanami tanaman spesifik yang tumbuh disitu,” paparnya.
Padahal, kata dia, Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kaca sebesar 25 persen pada tahun 2020.
Fadhil menjelaskan, pelaku usaha kelapa sawit Indonesia dan Malaysia telah membentuk wadah forum dunia usaha kelapa sawit. “Sehingga kami susun program bidang komunikasil strategi dan komunikasi sustainability. Jadi, nanti antara produsen punya persepsi sama untuk atasi isu seperti black campaign,” tukasnya.
Seperti diketahui, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara Joko Arif membantah jika pembatalan kontrak CPO Sinar Mas oleh Unilever dan Nestle, akan menjadi ancaman bagi petani kelapa sawit. Seraya merujuk pada komentar kementerian lingkungan hidup dan pertanian serta Gapki, pembatalan kontrak itu tidak mempengaruhi industri kelapa sawit Indonesia.
Joko menyambut positif kelompok petani sawit yang juga meminta pemerintah agar memperhatikan mereka.
“Tapi, jangan sampai, selama pemerintah memfokuskan pada petani sawit, pemerintah menjadi tidak fokus pada perusahaan besar yang merusak hutan,” katanya.
“Karena itu, pemerntah harus melihat betul kegiatan illegal membuka hutan, lahan gambut,” ucapnya.
Pihaknya mengaku siap kapanpun untuk melakukan negoisasi dengan industri. Sebab, pihak industri kelapa sawit menganggap Greenpeace sebagai ancaman yang buruk.
Padahal, melalui berita-berita yang disampaikan NGO itu, pihaknya tidak anti-industri dan tidak anti kelapa sawit.
“Kita justru ingin membuat kelapa sawit Indonesia jadi lestari, sustainable,” timpalnya.
Pihaknya ingin, perkebunan kelapa sawit tidak merusak hutan dan tidak membuka lahan gambut. Karena itu, pemerintah harus cepat bergerak memeriksa perusahaan-perusahaan seperti Sinar Mas yang melakukan pelanggaran sebagaimana terdapat dalam data yang dilaporkan Greepeace.
Adapun masalah pembatalan kontrak CPO Sinar Mas oleh Unilever dan Nestle merupakan persoalan bussines to bussines. Karena itu, penyelesainnya tidak memerlukan pihak antar pemerintah (government to government).
Fadhil menegaskan, gencarnya kampanye negatif Greenpeace terhadap perusahaan produsen crude palm oil (CPO) terbesar PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) tidak akan memicu turunnya permintaan minyak kelapa sawit asal Indonesia.
Menurutnya, meski kampanye Greenpeace berbuntut pada putusnya kontrak Nestle-Sinar Mas, kasus ini tidak mewakili produsen kelapa sawit Indonesia secara keseluruhan.
“Tidak ada dampaknya bagi produsen kelapa sawit Indonesia. Apalagi, Nestle membeli dari SMART hanya sekitar 30 ribu ton per tahun,” katanya.
Dia mengingatkan, sawit merupakan komoditas yang dibutuhkan dunia baik sebagai bahan pangan maupun bahan bakar nabati. Jika Nestle menghentikan pembelian dari SMART, akan masih banyak pembeli lain.
“In the long run, justru akan lebih banyak pembeli daripada penjual,” tandasnya.(net)


0 komentar:
Posting Komentar