Kamis, 20 Januari 2011

YLKI : Kelangkaan Pupuk Harus Segera Mendapat Solusi

0 komentar
LUBUKLINGGAU- Memasuki waktu musim tanam, petani selalu dihadapkan pada permasalahan kelangkaan pupuk berbersubsidi. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas (Mura), salah satu penyebab utama terjadinya kelangkaan pupuk adalah adanya penyelewengan distribusi. Selain itu, penyebab lainnya adalah lemahnya pengawasan serta ketidaktelitian dalam penyusunan RDKK (rencana defenitif kebutuhan kelompok).
Demikian jelas Hasran Akwa, Ketua YLKI Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Mura, Selasa (18/1).
Menurut Hasran, keterlambatan pendistribusian pupuk juga menjadi penyebab terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi. Saat ini harga masing-masing pupuk bersubsidi pada tingkat pengecer, Urea Rp 80 ribu per sak dengan berat 50 Kilogram (Kg). Sedangkan untuk pupuk bersubsidi jenis Sp 36 Rp 100 ribu per sak dengan berat 50 Kg, pupuk jenis NPK Rp 115 ribu per sak dan PONSKA Rp 115 ribu per sak.
Oknum yang melakukan penyelewengan ini tergiur untuk melakukan hal tersebut lantaran harga jual pupuk bersubsidi bisa melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET), sehingga penjual dapat meraup untuk berlipat. Namun, kecurangan yang dilakukan oknum ini menyebabkan kebutuhan petani yang tercantum dalam RDKK tidak mendapatkan jatah pupuk, oleh sebab itulah petani sulit
YLKI dari hal 8
mendapatkan pupuk tersebut.
Berdasarkan hasil penyisiran YLKI, dalam penyusunan RDKK seringkali ditemukan adanya RDKK yang melampaui luasan areal. Contohnya di Desa A Widodo dan Desa F Trikoyo. Hal ini lah yang menjadi peluang besar bagi distributor maupun pengecer untuk melakukan penyelewengan.
Hasran Akwa menyarankan, ada baiknya dalam penyusunan dan pengesahan RDKK didampingi oleh instansi terkait untuk menghindari kelebihan kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut.
Menanggapi kondisi ini, pihak distributor maupun pengecer menjelaskan, kesulitan pupuk pada tingkat petani disebabkan oleh ketidakmampuan petani untuk membeli pupuk. Sedangkan pada tingkat distibutor ketidakmampuan untuk menebus pupuk menjadi beban di tingkat pengecer.
Untuk bisa mendapatkan pupuk, pengecer menyerahkan RDKK dan uang pembelian kepada ditibutor. Jika kedua syarat RDKK dan uangnya tidak ada, maka distributor tidak akan menyalurkan pupuk. Sementara, kebanyakan dari petani menyerahkan RDKK dan tidak disertai uang, mau tidak mau pengecer menutupi uang dari kelompok tani. Sehingga distributor maupun pengecer menekankan harga Harga Eceran Tertinggi (HET) berlaku jika pupuk dibeli secara kontan (cash).
Dalam pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk pemerintah secara tertutup.
YLKI mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk bersubsidi tersebut. Diharapkan dengan cara tersebut, kelompok tani diberi kemudahan dan kepercayaan untuk bisa merencanakan kebutuhan pupuk, pendanaan dan penebusan langsung ke Lini II (Gudang) tingkat Kabupaten, sesuai dengan waktu dan kebutuhan Anggota Kelompok Tani.
Sementara itu, Kelompok Tani berharap pemerintah menyiapkan dana khusus untuk pengadaan pupuk bersubsidi secara cash dan swadaya, sehingga tidak ada alasan lagi bagi distributor maupun pengecer yang mengatakan ketidakmampuan petani untuk menebus pupuk bersubsidi tersebut.
Untuk memaksimalkan program pengadaan pupuk bersubsidi ini, sebaiknya pemerintah bisa kembali melihat pada Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2008, tentang Penetapan Pupuk bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan.
Berikut dalam Permendag No. 21/M-DAG/Per 16/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian.
Mengenai pupuk juga diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 2009.
Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mengatur agar pupuk bersubsidi sampai kepada petani. Dengan memberikan kemudahan dan jaminan kepada petani dalam memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi. Pendistribusian pupuk bersubsidi tersebut harus mengacu pada konsep enam tepat, yaitu tepat harga, tepat waktu, tepat jenis, tepat tempat, tepat dosis dan tepat cara. Selain itu peraturan tersebut juga bertujuan untuk memberdayakan seluruh Produsen, distributor dan pengecer resmi pupuk bersubsidi agar lebih efisien dalam pengadaaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggungjawabnya. Sekaligus untuk menghindari terjadinya kelangkaan pupuk dan penyimpangan pendistribusian pupuk ke sektor lain.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut dinyatakan, pupuk bersubsidi adalah sebagai barang dalam pengawasan yang dalam pendistribusian sudah diatur yang melibatkan BUMN, Produsen maupun Distributor atau Pengecer resmi yang terbagi dalam Lini I sampai Lini IV yang masing-masing sudah mempunyai tugas dan kewajiban yang diatur dalam Permendag dan Permentan.
Di antara tugas yang diatur dalam Permendag tersebut, produsen melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi di Lini II. Produsen kepada Distributor di wilayah tanggung jawabnya. Kedua, distributor melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi di Lini III. Distributor kepada Pengecer diwilayah tanggungjawabnya. Ketiga, distributor melaksanakan pengangkutan sampai dengan gudang Lini IV Pengecer. Keempat, Pengecer melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi di Lini IV/kios pengecer kepada petani/kelompok tani di wilayah tanggung jawabnya dengan ketentuan harga HET.
Hasran Akwa menegaskan, hendaknya pengawasan terus diitensifkan dari tingkat produsen, distributor dan pengecer. Semua aspek ini diharapkan untuk tetap memperhatikan beberapa kewajiban yaitu tepat sasaran, tepat waktu, tepat mutu dan tepat harga. Yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha adalah, pihaknya memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan jujur kepada konsumen.
YLKI menyimpulkan saat ini, kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi di Purwodadi. Menurut petani, kelangkaan pupuk bersubsidi ini telah terjadi sejak satu bulan lalu. Salah satu jenis pupuk yang sulit dijumpai adalah pupuk Urea. Akibatnya, daun-daun padi milik petani menjadi berwarna kuning yang mengakibatkan penurunan hasil produki petani.
Jika permasalahan kelangkaan pupuk ini tidak segera diselesaikan, kemungkinan terburuk hasil produksi petani di Kabupaten Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau akan menurun.
“Secara umum turunnya hasil produksi petani padi merupakan pukulan berat bagi Pemerintah Kabupaten Musirawas Darussalam sebagai lumbung pangan nasional menuju swasembada beras,” jelas Hasran Akwa.(03)

0 komentar:

Posting Komentar